
Redaksi
JAKARTA,- KORANRAKYATCOM Eksekusi pengembalian Rp13,2 triliun hasil tindak pidana korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (20/10), menjadi salah satu peristiwa paling penting dalam lanskap hukum dan politik ekonomi nasional.
Langkah penegakkan hukum oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) itu merupakan bagian dari putusan pengadilan yang melibatkan sejumlah perusahaan besar di industri kelapa sawit, kasus yang sempat mengguncang publik sekitar tiga tahun lalu.
Peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro mengatakan, dalam konteks politik, eksekusi pengembalian uang negara ini membawa pesan yang lebih dalam. Slogan “no more untouchables” menurutnya menjadi pernyataan simbolik dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Bahwa tidak ada lagi kekuatan ekonomi atau jaringan bisnis yang kebal dari hukum. Pesan ini sejalan dengan pernyataan Presiden dalam berbagai kesempatan: bahwa penegakan hukum ekonomi harus menembus batas pengaruh, kekuasaan, dan koneksi bisnis," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (21/10).
Bawono mengatakan, kasus seperti ini jangan hanya dilihat dari kacamata hukum saja, tetapi juga menjadi momentum untuk memulihkan moralitas pasar dan menegakkan etika bisnis. Dalam pandangan politik ekonomi, langkah ini memberi sinyal bahwa pemerintah berkomitmen menciptakan iklim usaha yang bersih, berkeadilan, dan setara bagi semua pelaku ekonomi.
"Kejelasan penyelesaian kasus ini sekaligus memperkuat persepsi publik bahwa Indonesia tengah memasuki era baru dalam penegakan hukum, di mana praktik corporate impunity—kebiasaan perusahaan besar lolos dari jerat hukum—tidak lagi mendapat tempat seperti di masa lalu. Transparansi dan ketegasan menjadi pondasi baru bagi hubungan antara negara dan sektor swasta strategis," ujarnya.
Sementara itu, Co Founder ISESS, Khairul Fahmi menyebut eksekusi pengembalian uang negara Rp13,2 triliun itu merupakan kemenangan negara dalam menjaga kedaulatan ekonomi dan keamanan nasional. Ketika hukum mampu menundukkan kepentingan besar yang merugikan rakyat, negara sedang menutup celah-celah kerentanan strategisnya.
"Presiden pun mengilustrasikan nilai pemulihan itu ke dalam wujud keseharian: setara renovasi delapan ribu sekolah atau pembangunan enam ratus kampung nelayan modern. Sebuah narasi yang mendekatkan publik pada makna keadilan yang benar-benar kembali bekerja," ujarnya.
Namun, dalam kacamata pertahanan, angka itu tak kalah strategis. Korupsi di sektor-sektor vital seperti pangan dan energi bukan hanya kejahatan ekonomi biasa. Menurut Khairul, itu adalah ancaman non-militer yang berdampak sistemik: harga melonjak, pasokan terganggu, kepercayaan publik runtuh. "Dalam kerangka pertahanan semesta, keadilan ekonomi adalah fondasi daya tahan nasional," terangnya.
Uang yang kembali ke negara dinilainya sebagai ruang fiskal yang dapat memperkuat fondasi sosial sekaligus infrastruktur pertahanan. "Bila diarahkan secara strategis, dana tersebut dapat mempercepat kemampuan negara hadir cepat, melihat lebih jauh, dan bertahan lebih lama, di udara, perbatasan, maupun laut," tandasnya.(as)
JAKARTA,,KORANRAKYAT.COM, 22Oktober 2025, Mantan Presiden Soeharto masuk daftar 40 nama tokoh yang diusulkan sebagai calon pahlawan nasional."Kementerian Sosial telah menyerahkan 40 nama tokoh yang diusulkan sebagai calon pahlawan nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon," kata anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo saat mengikuti acara ziarah bersama Putri tertua Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana dan Yayasan Harapan Kita ke makam mantan Presiden Soeharto di Astana Giribangun Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (22/10/25).
Bamsoet menegaskan sejak penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dicabut dari dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 pada Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR 2019-2024 di Gedung Parlemen, tanggal 25 September 2024, maka secara politik sudah tidak ada lagi halangan bagi negara untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI ke-2, Soeharto.
Bamsoet mendukung penuh agar pemerintah pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 mendatang menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto.
"Nama mantan Presiden Soeharto termasuk di dalam daftar tersebut. Selanjutnya, Dewan Gelar akan melakukan kajian mendalam sebelum diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk diputuskan," terang Bamsoet panggilan akrabnya.
"Masuknya nama mantan Presiden Soeharto dalam daftar calon pahlawan nasional sudah melalui kajian dari Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Proses tersebut tidak sekadar menimbang jasa masa lalu mantan Presiden Soeharto, tetapi juga meneguhkan rasa kebangsaan dan penghormatan terhadap sejarah perjuangan pembangunan," ujar Bamsoet yang juga mantan Ketua MPR.
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan, keputusan MPR mencabut nama Soeharto dalam TAP Nomor XI/MPR/1998 menjadi titik balik dalam upaya rekonsiliasi sejarah nasional. Soeharto bukan sekadar mantan presiden yang memimpin selama lebih dari tiga dekade, tetapi juga figur yang menegakkan stabilitas politik dan keamanan di tengah gejolak pasca-Orde Lama serta meletakkan dasar pembangunan jangka panjang yang hasilnya masih dirasakan hingga kini.
“Dalam masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan, membangun infrastruktur pendidikan dan kesehatan, serta melahirkan sistem perencanaan pembangunan nasional yang terukur lewat Repelita. Kita juga menyaksikan kemajuan pesat di bidang industri dasar, pertambangan, hingga energi. Semua itu adalah capaian monumental yang patut dikenang sebagai bagian dari sejarah kebangkitan bangsa,” kata Bamsoet.
Ia menyoroti bagaimana warisan kebijakan ekonomi Orde Baru menjadi fondasi bagi kemajuan saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada puncak masa kepemimpinan Soeharto, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai di atas 7 persen per tahun. Angka kemiskinan menurun dari 40 persen pada awal 1970-an menjadi di bawah 12 persen menjelang akhir 1990-an.
“Fakta sejarah tidak bisa dihapus begitu saja. Di masa Presiden Soeharto, rakyat Indonesia merasakan kemajuan yang nyata di berbagai bidang. Penghargaan ini menjadi wujud rasa terima kasih negara kepada pemimpin yang telah menegakkan sendi-sendi pembangunan nasional. Bangsa besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya secara utuh,” pungkas Bamsoet. (aj)
JAKARTA,KORANRAKYAT.COM-, 22 Oktober 2025 - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak untuk melakukan refleksi dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2025. Peringatan Hari Santri setiap tanggal 22 Oktober."Ini harus menjadi momentum untuk tidak hanya mengenang jasa para pendahulu, tetapi juga mengukuhkan peran santri sebagai agen perubahan dan pilar moderasi beragama di tengah kompleksitas tantangan kebangsaan dan global," kata Zainut Tauhid Sa'adi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
MUI memberikan pesan moral sebagai berikut :
1. MUI mengajak seluruh komponen bangsa untuk melakukan refleksi kritis terhadap perjalanan santri. Sejarah mencatat, santri dan ulama adalah garda terdepan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, hal ini membuktikan bahwa identitas keislaman sejalan dan tak terpisahkan dari semangat keindonesiaan.
2. Di era disrupsi informasi dan ideologi, pondok pesantren dan santri harus menjaga oriensialitas (keaslian) dalam pengajaran agama yang moderat (tawasuth), seimbang (tawazun), dan toleran (tasamuh), sembari menghindari jebakan pemahaman keagamaan yang ekstrem dan tertutup. Pendidikan pesantren tak boleh hanya menjadi menara gading yang eksklusif, namun harus menjadi laboratorium kearifan lokal dan global yang mencetak generasi berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan berwawasan luas.
3. Peringatan Hari Santri kali ini diiringi duka mendalam dan keprihatinan atas serangkaian peristiwa yang menguji marwah pesantren. Musibah seperti ambruknya mushola Ponpes Al Khoziny yang merenggut korban jiwa, serta kasus-kasus internal yang melukai rasa kemanusiaan seperti aksi bullying dan pelecehan seksual dan beberapa narasi negatif lainnya.Peristiwa ini menjadi alarm kepada semua pondok pesantren untuk melakukan muhasabah serius pada tata kelola internal. Pesantren ditantang untuk membuktikan bahwa mereka bukan hanya mengajarkan moralitas, tetapi juga mampu menjamin keselamatan dan perlindungan bagi setiap santri.
MUI mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang memberikan respon cepat dengan memerintahkan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar untuk memeriksa struktur dan kekuatan bangunan di pondok-pondok pesantren. Instruksi tersebut diberikan setelah insiden ambruknya bangunan di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. Hal ini membuktikan Pemerintah memberikan perhatian serius kepada dunia pesantren
4. MUI memberikan perhatian serius terhadap terpaan isu pelecehan seksual di berbagai pesantren, hal ini menjadi ancaman terhadap marwah institusi yang selama ini dianggap benteng moral. Kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual secara langsung merusak kepercayaan publik terhadap pesantren sebagai lembaga yang menjunjung tinggi akhlak dan moralitas.
Sangat penting untuk diketahui bahwa kasus-kasus kekerasan seksual ini tidak mewakili seluruh institusi pesantren di Indonesia. Mayoritas pondok pesantren tetap menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang berintegritas, mengajarkan akhlak mulia, dan berkomitmen pada keamanan serta kesejahteraan santri.
Oleh karena itu, generalisasi dengan menyamaratakan semua pesantren sebagai tempat yang tidak aman adalah tindakan yang keliru dan tidak adil. Generalisasi hanya akan mendiskreditkan ribuan pesantren yang berdedikasi dan memiliki reputasi baik. Kita harus memisahkan antara tindakan kriminal oknum dengan lembaga pendidikan secara keseluruhan.
5. MUI mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memastikan prinsip keadilan anggaran bagi seluruh satuan pendidikan nasional, termasuk pesantren. Pengakuan kesetaraan pendanaan proporsional berdasarkan amanat konstitusi dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, lembaga ini diakui sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, pesantren harus mendapatkan hak pendanaan yang setara dengan lembaga pendidikan formal lainnya.
Negara tidak hanya wajib mengakui peran pesantren secara moral, tetapi juga harus menegaskannya secara fiskal. Ini adalah langkah nyata menuju keadilan pendidikan bagi semua anak bangsa, tanpa terkecuali mereka yang memilih mendalami ilmu di lingkungan pesantren.
6. Kami meminta Pemerintah (Kementerian Agama) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengafirmasi pelaksanaan UU Pesantren secara menyeluruh. Pelaksanaan UU Pesantren tidak boleh hanya berhenti di tataran simbolis. MUI menuntut adanya percepatan implementasi yang fokus pada:
7. MUI meminta Pemerintah untuk mempercepat pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren (Ditjen Pesantren). Pembentukan Ditjen Pesantren adalah kebutuhan mendesak, bukan lagi pilihan. Mengingat besarnya jumlah pesantren dan amanat undang-undang yang diemban, Ditjen setingkat Eselon II di bawah Ditjen Pendidikan Islam saat ini tidak lagi memadai. Kelembagaan yang Kuat: Peningkatan status menjadi Ditjen Pesantren akan menjamin adanya kelembagaan yang kuat, mandiri, dan fokus dalam mengurus seluruh aspek pesantren (pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan) secara holistik. (aj)